"You're not just taking a picture; you're capturing their souls, preserving it in a box, freezing it for eternity."
Sebagai salah satu penghuni semu planet bumi, aku sangat takjub dengan banyaknya kemudahan yang didapatkan selama hidup hingga kini.
Dan pesan singkat yang kemarin aku terima dari seorang keluarga di Kampung Adat Tololela, Bajawa buat aku semakin bersyukur bisa hidup di era informasi saat ini.
Matilda atau mama Ide, begitu aku biasa memanggilnya, mengirimkan sebuah pesan video melalui WhatsApp.
Isinya adalah video seorang wanita yang sedang memasak di tempat perapian favoritku dulu.
Tempat sakral dimana aku menghabiskan banyak waktu untuk belajar bersama mama Ide dan alm oma Vero, keluarga baru yang selalu menyambutku dengan hangatnya moke dan nikmatnya Ra'a rete.
Aku gak begitu memperhatikan isi percakapan mereka dalam video itu.
Melihat video singkat itu, segera pikiranku terbang 4 ribu-an km jauhnya.
Ke perkampungan di atas bukit yg dikelilingi kebun kemiri dan tebing watu cepi.
Jadi ini cerita tentang...
Kampung Adat Tololela yg berada di Desa Manubhara, Bajawa, Flores, yang aku jadikan rumah ketiga karena tempat itu telah banyak membentuk nilai dan cara pandangku dalam memaknai hidup.
Dan dua hal yang cukup membekas adalah ketulusan dan bekerja dengan hati.
Aku belajar banyak mengenai kedua hal itu dari Mama Ide dan Alm. Oma Vero.
Seketika genggaman layarku perlahan mengendur.
Lalu aku letakkan kembali handphone ku dan mencari file foto - video mengenai sosok kedua orang tersebut di harddisk lamaku.
Dan dari banyak foto yang aku scroll, jariku seketika berhenti dan memperhatikan beberapa foto kain tenun ini.
Foto kain tenun berbentuk selendang diatas adalah bukti dari 'kemustahilan' yang mampu diwujudkan selama kita mau terbuka, mencoba dan melakukannya dengan hati.
Pada saat itu aku memberikan tantangan kepada kelompok mama-mama penenun di Kampung Adat Tololela sebagai bagian dari program untuk meningkatkan nilai jual produk hasil kain tenun.
Tantangannya hanya satu: eksplorasi motif tenun.
Banyak cerita menarik mengenai kain tenun dan kehidupan mama penenun yang semoga bisa aku tuliskan di masa mendatang.
Dan dari sekian banyak kaum mama yang ada di kelompok tenun, hanya Mama Ide yang bersedia menerima tantangan itu.
Mama Ide lagi finishing kain |
Meski terbiasa menenun dari kecil, namun menenun motif baru diluar dari kebiasaan membutuhkan keberanian.
Enggak cuma itu, butuh riset dan pendekatan mendalam mengenai motif apa yang diperbolehkan untuk di tenun, karena menenun bukan sekedar aktivitas transaksional tapi ada nilai magis dalam setiap prosesnya.
Melalui panjangnya proses itu aku bisa memahami respon kaget mama-mama penenun kala itu.
Butuh waktu lebih dari 6 bulan untuk menyelesaikan kain selendang itu.
Bukan hanya karena sulitnya membuat motif, namun ditengah proses kami bersepakat untuk menggunakan benang hasil pintalan Alm. Oma Vero untuk dijadikan bahan baku pembuatan tenun.
Benang yang di pintal, pewarna alami, plus mempelajari motif baru adalah paket komplit yang membuat mama Ide pusing namun selalu tertawa setiap kali aku datang melihatnya merangkai motif.
Banyak hal yang terjadi. Banyak yang kami pelajari selama proses menenun kain selendang itu, namun sekalipun aku gak pernah mendengar kalimat menyerah dari mama Ide yang merangkai motif ataupun Alm. Oma Vero yg tiap pagi dan sore memintal benang dari kapas di halaman rumahnya.
Selalu ada temuan dan hal yang menarik selama proses menenun.
Aku gak hanya melihat tapi juga bisa merasakan bagaimana mama Ide dan Alm. Oma Vero memberikan hati untuk pekerjaan yg dianggap kebanyakan orang 'mustahil' untuk diselesaikan.
Bahkan aku pernah mendengar dari mama Ide kalau ada orang lain yang memberikan saran padanya untuk membatalkan tantangan itu karena dirasa memakan waktu yang cukup lama dan enggak sepadan dengan hasilnya.
Namun ditengah semua itu, mama Ide dan Alm. Oma Vero tetap melanjutkan dan menyelesaikan tantangan itu.
Bahkan ketika kainnya selesai, mereka mengundangku untuk hadir dalam upacara penutupan menenun.
FYI: Karena menenun punya nilai spiritual dan budaya, mama-mama penenun selalu mengadakan ritual upacara sebelum memulai dan ketika selesai.
Dan di upacara penutupan itu, mereka menyampaikan beberapa hal yang membuatku bisa melihat dan merasakan ketulusan yang hangat.
Ketulusan yang selama ini tetap mereka berikan bahkan ketika mereka diragukan orang lain karena tantangan yang aku berikan.
Seketika aku takjub dengan adanya teknologi yang dinamakan kamera, apalagi dalam bentuk yang compact, mudah dibawa kemana-mana.
Kamera sebagai salah satu alat dokumentasi punya peran yang penting dalam peradaban manuisa.
“The camera is an instrument that teaches people to see without a camera.” Dorothea Lange.
Aku gak bisa membayangkan kehidupan tanpa kamera, karena tanpa kamera, enggak ada yang benar-benar terdokumentasi, sehingga enggak akan ada yang bisa memahami peristiwa di masa depan.
Dengan adanya foto yang aku ambil lewat kamera, kenangan ataupun persitiwanya akan tetap tinggal disana.
Mungkin ingatanku akan memudar tentang peristiwa itu, mungkin aku enggak akan mengingat bagaimana terjalnya jalan menuju ladang untuk mengambil daun indigofera sebagai bahan baku pewarna alami, tentang bagaimana kerasnya tekstur benang Alm. Oma Vero, dan berapa banyak moke serta ra'a rete yang kami habiskan di sa'o sambil bercerita tentang kain tenun yang dibuat.
Namun dengan dokumentasi yang ada, perlahan tapi pasti kepingan cerita itu akan muncul perlahan, hangat dan menenangkan jiwa.
Thank you very much for your kindheartedness, Mama, Oma :) |
Lewat pesan singkat kemarin, aku sangat bersyukur dengan teknologi yang bernama kamera. Teknologi yang aku yakini membawa perubahan besar bagi peradaban manusia.
Kalau kamu, apa teknologi yang kamu syukuri saat ini?
Pengalaman memang guru yang berharga. Salah satu harapanku, nih, bisa mengunjungi Indonesia bagian timur. 😍
BalasHapusSemoga bisa berjodoh ke Indonesia Timur ya Ki. Amin
HapusPengen kesana. Beli langsung kain tenun itu dari Oma yang menenunnya sendiri. huhuuuu... Kapan ya?
BalasHapusKeluargaku suka mengabadikan momen sekecil apapun dari kamera, tapi sejak 2014 an, setelah marak menyimpan data digital jadi lupa buat cetak foto fisik lagi :( jdi udah ada dua hardisk yg ga bisa di buka. Sedih banget. Padahl hal-hal begini yang buat kita lebih kerasa soulnya setelah ditulis ya foto :((
BalasHapus